#
Motto Kedungbenda "Jempol" : Jujur - Eling - Mapan - Prigel - Open - Lancar
Home » » Partisipasi Penyaluran Hak Suara

Partisipasi Penyaluran Hak Suara

Written By Unknown on Selasa, 14 Mei 2013 | 02.38

Fenomena, Politika***    

Sejenak kita renungkan, betapa susahnya memperoleh dukungan suara rakyat yang benar-benar murni dari hati nurani.  Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat pencapaian angka partisipasi pemilih pada Pemilu, Pilkada dan Pilkades yang diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan di tiap-tiap tingkat wilayah pemilihan.

Fenomena seperti ini terjadi dimana-mana pada situasi dan kondisi yang berbeda-beda pula. Dengan dibukanya kesempatan untuk pencalonan Legislatif maupun Eksekutif mendorong para Kontestan berlomba-lomba mencari jalan atau berusaha sekuat tenaga agar terpilih.
Sedang untuk dapat terpilih ditempuhlah berbagai upaya yang tidak mudah, diantaranya menggunakan jurus rayu untuk menarik hati para calon pemilih jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilihan.
Ada calon atau bakal calon yang masih menjabat mengambil kesempatan dengan memanfaatkan sarana dan kekuasaan yang berada di bawah kendalinya (Incumbent).  Sementara beberapa mantan penguasa yang sudah dua kali menjabat dan tidak dapat mencalonkan diri lagi karena dibatasi oleh undang-undang, apabila masih ada ambisi pasti akan berusaha sekuat tenaga mengajukan keluarga atau kolega dekatnya untuk ikut di kancah pemilihan; motivasinya adalah mempertahankan pengaruh yang tidak boleh hilang demi kepentingan strategisnya, melindungi hasil kerja keras semasa menjabat, atau untuk memelihara link tertentu yang sudah dibangun agar semakin kuat.

Ada pula yang menjual kecap nomor satu lewat koran, radio, TV dan mass media lainnya dengan memanfaatkan kolom editorial untuk menonjolkan keterkaitan yang bersangkutan dengan isi tulisan; di situ diarahkan bahwa yang bersangkutan sangat berperanan sesuai apa yang dirilis dalam editorial, termasuk orang yang layak untuk diperhitungkan dan pantas dimasukan kedalam bursa pencalonan. Intinya membangun image positif dan menambah nilai jual bagi kontestan.

Sebagian orang menggunakan pesan psikologis dengan cara menggugah atau membangkitkan perasaan hati pemilih.  Di tengah masyarakat ditunjukan seolah-olah yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan, daya, material atau uang, tetapi hanya berbekal moral dan kejujuran, keterbukaan, bahkan termasuk menjadi salah seorang yang sedang teraniaya. Maka untuk lebih meningkatkan citra, kontestan berusaha ngumpul di tengah masyarakat yang tidak berdaya atau sedang tertindas.  Diharapkan dengan cara demikian pemilih awam atau pemilih akar rumput yang senasib sepenanggungan (dari sudut pandang pemilih) akan merasa dekat karena ada tempat curhat dan keluhannya didengar. Kalau suasananya sudah terbangun, pada gilirannya calon pemilih bersimpati untuk mendukung atau bahkan menjadi basis suara.

Sementara kontestan bermodal materi, kekuatan politik, kepandaian, pengalaman, kemapanan diri, kepercayaan dan link yang luas dengan daya yang dipunyainya secara tenang dapat memposisikan dirinya sebagai kontestan.  Dengan daya dan kekuatan seperti ini orang-orang yang mempunyai kepentingan akan datang menghampiri.  Sudah sering kita lihat setelah menjabat orang seperti ini biasanya sifat aslinya akan muncul dengan sendirinya yaitu: berpendirian kuat, egois atau kurang kompromi terhadap kolega baru apalagi rival politiknya, tergantung mana yang dominan menguasai dirinya.

Sedang sebagian kecil kelompok lainnya adalah orang-orang sederhana, religius, tidak suka menonjolkan diri, tetapi sibuk dengan berkarya atau kegiatan rutinnya.   Orang-orang seperti ini agak sulit diidentifikasi karena tidak pernah menonjolkan diri, tetapi sekali diberi jabatan pasti akan dipelihara baik-baik dan amanah. Bahkan apabila jabatan itu diminta kembali, iapun tak akan mempertahankan selama proseduranya ditempuh.

Lantas apa hubungannya dengan judul di atas?
Ada…!, saya kemukakan terlebih dahulu karakteristik kontestan seperti di atas walaupun tidak lengkap/terbatas.
Untuk selanjutnya akan disampaikan beberapa fenomena yang berkaitan dengan calon pemilih secara sederhana.
Kalau di atas yang kita bicarakan adalah yang akan dipilih (kontestan), yang ini adalah Pemilih (partisipan hak suara).
Ada berbagai karakter dan gaya pemilih yang bisa diamati.
Pemilih patuh sering juga disebut si Penurut. Karakter pemilih yang ini cenderung mengikuti figur panutannya, yang dituakan, atasan, atau kolega dekatnya. Kemana diarahkan untuk memilih biasanya tak ambil pusing yang penting sudah menggunakan haknya. Hasilnya berpengaruh atau tidak terhadap perubahan tidak dipermasalahkan, yang penting tidak membuat ribet posisi dan kehidupan rutinnya sehari-hari.

Sebagian dari kelompok ini sebenarnya sadar akan kedudukannya sebagai calon pemilih yang mempunyai harga tawar tinggi tetapi tidak acuh karena kalau terlalu fokus pada urusan hak pilih akan menyita waktu dan energi, bahkan bisa berakibat macam-macam.  Tipe ini kalau dihargai, diberi kepercayaan dan diposisikan dengan tepat dapat menjadi pemilih setia yang tidak banyak menuntut dan mudah diajak kompromi.

Sebagian calon pemilih yang tingkat pendidikan dan pengetahuan politiknya sudah baik, pada umumnya dapat memutuskan sendiri siapa yang akan dipilih, walau tanpa bantuan, dengan bermodal pengetahuan dan referensi yang dipunyai biasanya dapat menilai kontestan mana yang cocok. Di sini kuncinya adalah informasi dan program yang jelas dari kontestan.

Sementara sebagian lain mempunyai karakter yang keras.  Calon pemilih yang ini benar-benar sudah mengerti harus bertindak apa karena didasari pengetahuannya yang baik, militansi kelompok, dan yakin betul akan menyampaikan aspirasi pribadi atau kelompoknya melalui jalur politik yang dia ketahui dan dapat dipercaya.  Kelompok ini sulit diperdayai, jumlahnyapun secara kuantitas tidak terlalu besar, tetapi mempunyai kekuatan dahyat yang dapat merubah eskalasi dan peta suara pemilih. Biasanya bertindak atau dimanfaatkan sebagai motor penggerak massa.

Sedangkan sebagian calon pemilih yang lainnya ialah Massa Mengambang. Disebut mengambang karena kelompok ini sebenarnya labil, tidak mempunyai panutan dan konsepsi yang jelas, ada kemungkinan pengetahuan tentang cara pemanfaatan hak suaranya juga terbatas.  Kelompok ini didominasi kaum muda yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya, pemuda yang belum mempunyai ikatan/kelompok tertentu kecuali kelompok bermain atau kelompok hura-hura, kaum yang telah berkali-kali ditindas oleh penguasa secara represif atau oleh kelompok lain yang lebih kuat, sebagian orang-orang yang sakit hati karena tidak pernah dianggap eksistensi politiknya, juga sebagian orang yang sama sekali tidak suka dengan kegaduhan politik. 

Sebagian dari kelompok ini ada yang menjadi golongan putih  tidak mau berpartisipasi mempergunakan hak suara karena kontestan atau calon yang akan dipilih dianggap tidak seide atau seakidah.  Kelompok pemilih massa mengambang jumlahnya cukup besar.  Dapat kita ambil sedikit contoh seperti: Pilkada Provinsi Jawa Barat, Pilkada Kabupaten Banyumas, Pilkades di sebagian desa di Kabupaten Purbalingga, berdasarkan pengamatan tingkat massa mengambangnya masih cukup tinggi.

Di sisi lain tingkat militansi dan partisipasi para perantau dalam penggunaan hak pilih di daerah asal masing-masing cukup berpengaruh dan signifikan. Memang secara kuantitas prosentasenya tidak besar, tetapi karena soliditasnya yang baik dapat berpengaruh terhadap calon pemilih lainnya. Dengan penampilan yang kompak, penggunaan seragam dan atribut, pemanfaatan momen dan waktu yang tepat, mereka pada umumnya memobilisasi kelompoknya untuk pulang kampung bersama-sama atas biaya sendiri atau donatur yang usaha bisnisnya sedang baik.

Mereka oleh saudara dan teman-temannya di kampung dijadikan barometer dan panutan, karena selama ini secara finansiil telah nyata berkontribusi terhadap keluarga dan masyarakat di kampung halamannya, jadi wajar saja pendapatnya didengar.  Oleh beberapa calon atau kontestan yang jeli, pengaruh ini pasti akan dimanfaatkan untuk menangguk suara. Dengan penyambutan kecil saja sudah meluruhkan calon pemberi suara ini karena merasa dihargai dan eksistensinya diakui oleh masyarakat daerah asalnya.

Suasana penyampaian aspirasi hak pilih pada umumnya aman dan kondusif, tetapi untuk beberapa wilayah terjadi kisruh yang tidak terkendali karena adanya pemaksaan kehendak. Ya bagaimana lagi karena memang tingkat kesadaran dan kedewasaan politik yang masih rendah, sehingga pemilih tertentu diprovokasi oleh oknum tim pemenangan (kalau di pilkades disebut botoh).

Pemilihan langsung dengan figur tertentu yang ditawarkan juga tidak serta-merta dapat mendulang suara, kadang uang dipermainkan dengan berbagai cara.  Ada yang lewat kucuran dana hibah, rayuan, intimidasi, bahkan pemaksaan.

Dengan adanya fenomena di atas, terjadi tarik-ulur kepentingan, situasi yang kondusif baru akan tercipta apabila semua fihak yang terkait saling hormat-menghormati, tepo-sliro, masing-masing menyadari akan kelebihan-kekurangannya dan saling menahan diri untuk tidak memaksakan kehendak; pasti mekanisme penyaluran hak suara rakyat akan lancar dan tingkat partisipasinya akan tinggi.

Banyak fenomena yang sering dikupas di media cetak atau televisi sengaja tidak  dibahas, saya yakin pembaca sudah faham dan kemungkinan sampai hafal karena sering dibahas.

Selamat menjadi manusia Indonesia yang demokratis pancasilais.

Doc. by Kang Wirya

0 komentar:

Posting Komentar