Proyek Jembatan Linggamas yang sedianya selesai dan diserahkan pada tanggal 13 Desember 2013 dipastikan tidak tercapai alias molor.
Tidak tercapainya target karena adanya kendala teknis maupun non teknis di lapangan.
Proyek pembangunan Jembatan Lingggamas ini memang lain dengan proyek-proyek pada umumnya. Anggaran proyek ditanggung bersama kabupaten Purbalingga dan Banyumas secara bagi-fisik, artinya masing-masing menanggung pembiayaan sesuai proporsi pembagian fisik proyek berdasarkan kesepakatan.
Penganggaran multi year dibagi per termin berdasarkan kebutuhan dan kemampuan dimana masing-masing kabupaten menanggung sesuai bagiannya. Hal ini dapat dimaklumi karena memang anggaran pembangunannya cukup besar dan masing-masing kabupaten tidak dapat membiayai sekaligus karena harus membagi APBD untuk kepentingan lainnya juga.
Tidak tercapainya target karena adanya kendala teknis maupun non teknis di lapangan.
Proyek pembangunan Jembatan Lingggamas ini memang lain dengan proyek-proyek pada umumnya. Anggaran proyek ditanggung bersama kabupaten Purbalingga dan Banyumas secara bagi-fisik, artinya masing-masing menanggung pembiayaan sesuai proporsi pembagian fisik proyek berdasarkan kesepakatan.
Penganggaran multi year dibagi per termin berdasarkan kebutuhan dan kemampuan dimana masing-masing kabupaten menanggung sesuai bagiannya. Hal ini dapat dimaklumi karena memang anggaran pembangunannya cukup besar dan masing-masing kabupaten tidak dapat membiayai sekaligus karena harus membagi APBD untuk kepentingan lainnya juga.
Semangat awal pembangunan Jembatan Linggamas ini didasari kepentingan bersama dua kabupaten yang sama-sama ingin memajukan wilayah yang tertinggal sesegera mungkin untuk mengejar ketertinggalan dari bagian lain yang lebih dulu maju, mendorong perekonomian secara simultan, terealisasinya Bandara Komersial Wirasaba, harapan munculnya industri baru dan berkembangnya wisata di tempat ini. Walau di belakangnya ada juga kepentingan politis tentunya.
Pada tahap operasional setelah proyek ini selesai nanti, sebenarnya masih ada masalah yang berkaitan dengan pengawasan, pertanggungjawaban dan pemeliharaan yang memerlukan ketegasan.
Pengelolaan Jembatan ini selanjutnya akan menjadi tanggung jawab siapa? Bayangkan apabila ditengah perjalanan setelah proyek diserahkan oleh pemborong kepada dua kabupaten. Apabila ada kerusakan atau pemeliharaan rutin yang wajib apakah pelaksanaannya akan dilakukan oleh masing-masing? Nantinya dapat terjadi saling lempar tanggungjawab (Bms: buang-binuang), sedang keadaannya mendesak.
Kepemilikan aset jembatan apakah tetap oleh dua kabupaten?
Apakah pertanggungjawaban anggaran dan audit aset selanjutnya oleh BPK dan Inspektorat akan tetap melibatkan dua kabupaten?
Inilah yang disebut tidak lazim, karena pertanggungjawabannya dibagi dua. Batas-batas kepemilikan aset juga menjadi kabur.
Maka tanggungjawab pengelolaan aset khusus Jembatan Linggamas seharusnya ditarik ke pemerintah provinsi, karena ini menyangkut dua daerah yang rawan persoalan seperti disebutkan di atas. Adapun pengelolaan jalan tetap oleh masing-masing kabupaten.
Dampak Kurang Menguntungkan Proyek Jembatan Linggamas
Dampak kurang menguntungkan bahkan merugikan dapat terjadi akibat:
1. Perencanaan awal proyek kurang menampung masukan dari masyarakat yang terkena proyek.
2. Apabila proyek sepenuhnya menganut kebijakan topdown yang terkenal tidak rinci dan hanya melihat kebutuhan secara makro saja.
3. Ketersediaan anggaran cekak yang disetujui DPRD, maka dana dicukup-cukupkan, sehingga yang dikerjakan adalah hal-hal yang pokok saja, di luar itu harus pengajuan anggaran tersendiri.
4. Rantai birokrasi hingga keluarnya anggaran cukup panjang dengan prosedur yang berbelit.
Contoh nyata yang dapat dilihat secara langsung di lapangan ialah:
a. Pembangunan dua buah terowongan pengelak di sisi kabupaten Banyumas direncanakan dari awal dengan asumsi untuk pengelak banjir dan jalan warga ke sawah. Namun di sisi kabupaten Purbalingga tidak dibuat, dengan asumsi tidak memerlukan terowongan pengelak banjir karena lokasinya tinggi, namun terlupakan bahwa warga sehari-hari memerlukan akses jalan ke Karangsari yang terkenal dengan hasil pertaniannya itu. Akibat tidak dibuatnya terowongan untuk akses ke Karangsari, maka petani tidak punya akses ke Karangsari karena tidak ada jalan (Bms: dadi puguh). Apabila petani hendak ke sawah atau ladang maka harus jalan memutar lewat kampung Kebanggan yang jaraknya lebih jauh. Usulan jalan tembus (terowongan) sudah sangat terlambat karena masyarakat baru menyadari setelah akses jalan tertutup dan pengurugan oprit sudah selesai. Pelaksana proyek memberi solusi dengan membuat jalan melingkar di bawah jembatan, namun sebenarnya jalan ini tidak aman, rawan longsor atau kebanjiran. Pekerjaan ini diluar rencana proyek, menambah cost dan menyita waktu.
b. Sehubungan adanya pengurugan oprit timur menyebabkan saluran pembuangan irigasi juga tertimbun. Ini menyebabkan air di sawah/ladang menggenang tidak dapat dibuang ke sungai sehingga petani tidak dapat menanam. Atas usulan warga yang terlambat, pelaksana proyek juga memberi solusi dengan membuat saluran darurat. Namun apabila tidak diperkuat dengan tanggul beton, saluran ini akan berbahaya karena badan jalan atau oprit rawan longsor. Jelas pekerjaan di luar rencana seperti ini selain menambah biaya, waktu, juga harus ditangani khusus dengan menanam pohon penguat di pinggirnya karena tanah oprit di sebelahnya adalah tanah urugan baru.
c. Pekerjaan Kirmir/talut oleh pemborong terdahulu tidak memenuhi spesifikasi sehingga longsor dan jebol. Pemporong berikutnya mau tidak mau harus memperbaiki ulang, terjadi pemborosan akibat pengawas tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemborong berganti-ganti juga mengakibatkan kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban hasil pekerjaan karena saling lempar tanggungjawab.
d. Masalah lain sebenarnya masih banyak, namun dapat dieliminir tanpa bantuan pemerintah daerah atau pelaksana proyek.
Keterlambatan Akibat Adanya Hambatan Teknis Dan Non Teknis
Hambatan Teknis
• Adanya kesalahan ukuran gelagar yang terlalu panjang sehingga untuk memasang harus memotong terlebih dahulu, ini jelas memakan waktu. Kesalahan seperti ini biasa terjadi hampir di semua pekerjaan proyek karena adanya miss komunikasi atau beda persepsi antara pemborong sebagai pemesan barang dengan penyedia barang (distributor) material yang tidak cermat dalam membaca spesifikasi teknis.
• Pekerjaan tahap pendahuluan yang sudah selesai dikerjakan ternyata rusak kembali atau kualitasnya tidak memenuhi syarat spesifikasi teknis, sehingga pekerjaan pendahuluan tersebut harus dikoreksi. Contohnya seperti longsornya talud atau oprit karena kualitas pengerjaan yang asal-asalan, maka harus diperkuat kembali bahkan dibongkar-pasang ulang untuk memenuhi standar.
• Adanya kekurangan, kerusakan atau kesulitan alat bantu kerja; misalnya derek, rel, pengungkit, penarik dsb. tidak mencukupi atau kapasitasnya terlalu kecil dibanding kebutuhan, atau adanya force majeure.
• Keterlambatan pasokan material, kekeliruan kirim, atau tidak sesuai standar yang diminta.
Hambatan Non Teknis
Sekarang pembaca dapat membayangkan betapa ribetnya proyek ini, mulai dari wacana, perencanaan, sosialisasi, pelaksanaan, pengawasan, pemeliharaan dan evaluasi, semuanya harus terkonsep dan ditempuh sesuai prosedur.
Kelihatannya masyarakat mesti bersabar untuk dapat menggunakan jembatan baru. Menurut perhitungan kasat mata, paling cepat pada triwulan pertama 2014. Itupun kalau dilembur, mengingat cuaca sudah kurang mendukung dan realisasi pekerjaan baru sampai taraf pemasangan gelagar.
Ada pendapat yang mengatakan:”Percayakanlah segala sesuatu kepada ahlinya, kalau tidak, tunggulah kehancurannya”.
• Keterlambatan pasokan material, kekeliruan kirim, atau tidak sesuai standar yang diminta.
Hambatan Non Teknis
• Miss manajemen. Hal ini dapat terjadi apabila manajemen proyek tidak dikendalikan oleh orang yang betul-betul ahli dan berpengalaman.
• Pelaksana tidak tepat dalam memprediksi atau menghitung waktu kerja proyek berdasarkan tender waktu.
• Adanya human error. Apabila pekerja kurang kesejahteraannya, biasanya kerjapun ogah-ogahan, tidak konsen, atau mencuri waktu. Apalagi kalau pengawasnya tidak menguasai medan. Kadang-kadang kesehatan para pekerja juga menurun atau tidak prima, ini sangat mengganggu kelancaran pekerjaan.
• Adanya bencana yang tidak terduga, cuaca buruk, hujan terus-menerus atau banjir, atau terputusnya transportasi jalan sangat menggangu waktu kerja.
• Trackrecord Pelaksana proyek seharusnya diperhitungkan. Jangan karena kolega atau dari golongan tertentu maka diberikan kepercayaan untuk menyelesaikan proyek, padahal berdasarkan catatan yang ada pelaksana bersangkutan selalu gagal atau lambat dalam merealisasikan pekerjaan. Pemberian sanksi denda keterlambatan (finalty) bukanlah hal yang diharapkan, karena kerugian tetap dialami.
Itulah kira-kira problematika yang biasa terjadi di proyek-proyek konstruksi termasuk Proyek Jembatan Linggamas. Memang pekerjaan konstruksi jauh lebih rumit karena memerlukan banyak orang dan alat bantu kerja, tidak seperti proyek ME misalnya jauh lebih simpel di praktek walau rumit di atas kertas.
Sekarang pembaca dapat membayangkan betapa ribetnya proyek ini, mulai dari wacana, perencanaan, sosialisasi, pelaksanaan, pengawasan, pemeliharaan dan evaluasi, semuanya harus terkonsep dan ditempuh sesuai prosedur.
Kelihatannya masyarakat mesti bersabar untuk dapat menggunakan jembatan baru. Menurut perhitungan kasat mata, paling cepat pada triwulan pertama 2014. Itupun kalau dilembur, mengingat cuaca sudah kurang mendukung dan realisasi pekerjaan baru sampai taraf pemasangan gelagar.
Ada pendapat yang mengatakan:”Percayakanlah segala sesuatu kepada ahlinya, kalau tidak, tunggulah kehancurannya”.
Mudah-mudahan pendapat di atas tidak berlaku di Jembatan Linggamas.
Kita doakan.
By Kang Wirya.
0 komentar:
Posting Komentar