#
Motto Kedungbenda "Jempol" : Jujur - Eling - Mapan - Prigel - Open - Lancar
Home » » Kriminal Atau Pahlawan

Kriminal Atau Pahlawan

Written By Unknown on Sabtu, 15 Juni 2013 | 06.34


Prof. Drs. Jakob Sumardjo
Membaca judul di atas, benak kita pasti penuh tanda tanya, tertarik, atau bahkan langsung ngeh karena terdapat dua kata yang paradoksi. Untuk tidak menimbulkan tanda tanya berkepanjangan baiknya kita simak tulisan Prof. Drs. Jakob Sumardjo, Dosen STSI Bandung dengan judul di atas yang dimuat di Harian Kompas pada tanggal 22 Januari 2011. Karena esensinya berbobot, masih valid dengan situasi terkini dan cukup menarik untuk dijadikan bahan renungan, maka saya reposting untuk Pembaca yang belum berkesempatan menelaahnya.
Indonesia gudangnya cerita absurd, paradoks, dan irasional. Kita sekarang tahu negeri ini semakin merosot justru karena pengelola negara semakin kaya dengan kekayaan yang juga absurd.

Bayangkan seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan diri mendidik para sarjana selama 40 tahun! Ia mendapatkan pesangon pensiun sebesar Rp. 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp. 2,5 juta.
Bandingkan dengan seorang pegawai pajak berusia 30 tahun yang berhasil meraup uang negara puluhan mungkin ratusan miliar rupiah dan dihukum tujuh tahun penjara. Belum lagi ribuan cerita absurd lain di negeri ini.

Benarlah cerita pendek Somerset Maughan tentang belalang yang rajin dan belalang yang malas menghadapi musim dingin. Tak usah rajin bekerja di republik ini sebab para pemalas yang akan menikmati kerja keras orang lain. Para pemalas itu bisa berstatus pejabat apa pun. Tak mengherankan bahwa banyak kandidat pejabat yang rela menjual sawah, ternak, bahkan rumah buat merintis jalan menduduki kursi jabatan.

Jabatan adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan yang tak terkontrol siapa pun, meski tersedia lembaga kontrol, Anda akan jadi despot gurem yang cukup ampuh menilep hasil kerja keras belalang-belalang bodoh yang masih percaya kisah moral macam itu.

Kekuasaan tidak bermoral

Rakyat negeri ini dikenal dan mengaku diri religius serta menjunjung tinggi moral. Namun, apabila kekuasaan sudah tak bermoral, orang-orang baik menjadi orang-orang bodoh. Di tengah belalang bodoh semacam itu, si jahat bebas melakukan hukumnya sendiri yang berbalikan dengan moralitas.

Terjadilah hukum terbalik di Indonesia: yang kerja keras tetap miskin, yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.

Hukum terbalik inilah yang membuat negara dan bangsa bukan berjalan maju, melainkan berjalan mundur. Bukan tak ada menjadi ada, tetapi dari ada semakin tak ada. Indonesia pun menjadi tidak-Indonesia.

Hukum terbalik Indonesia ini hanya dapat dikembalikan dengan hukum kewarasan kembali, yakni yang ditindas menjadi penindas, yang miskin menjadi kaya dan yang kaya dimiskinkan, yang profesional mengganti yang amatir, yang kriminal adalah kriminal, dan yang pahlawan adalah pahlawan. Belalang rajin makan saat paceklik serta belalang malas dan bodoh akan kelaparan.

Sekarang ini absurditas masih realitas bahwa kriminal adalah pahlawan bangsa, sedangkan pahlawan sejati dijadikan kriminal. Negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, tetapi para kriminal bukan masuk penjara, justru menjadi para pahlawan bangsa. Apa beda antara pahlawan dan kriminal?

Logika sekarang menyatakan: tidak ada bedanya. Semakin Anda brutal dalam kriminal, dan dengan demikian kaya raya, Anda akan mendapatkan pemuja-pemuja. Mereka bagai anjing-anjing yang setia menanti remah-remah kriminalitas Anda.

Itulah sebabnya, para syahid korban kriminal ini menjelang kematian tidak mau dikuburkan di taman makam pahlawan. Taman makam pahlawan telah menjadi taman kriminal. Kalau mau menengok kuburan orang-orang syahid Indonesia, lebih baik pergilah ke kuburan-kuburan rakyat jelata, korban dari para pahlawan bangsa sekarang ini. 

Semar gugat

Ada cerita dalam wayang Jawa tentang Semar gugat. Tokoh yang dipuja orang Jawa ini hanyalah abdi atau hamba para kesatria Pandawa. Wujudnya paradoks, lelaki tetapi ditampilkan berpayudara seperti perempuan dalam fisiknya yang kebulat-bulatan. Dia adalah wakil rakyat kecil. Namun, sebenarnya Semar yang juga bernama Ismaya atau Maya adalah saudara kembar Manik atau Batara Guru yang berkuasa atas dunia dan isinya.

Dalam cerita itu, Batara Guru sering memutuskan secara tidak adil nasib manusia. Kita lihat bahwa para dewa saja bisa tidak adil, apalagi dewa-dewa Indonesia sekarang. Melihat para majikan Semar diperlakukan tidak adil oleh Batara Guru, Semar marah besar. Pandangan matanya yang senantiasa berair dan kabur itu tiba-tiba mengalirkan air mata terus-menerus. Perutnya menjadi mual dan kembung oleh ketidakadilan sehingga kentut terus-menerus.

Bau kentut Semar bisa membuat mabuk para dewa, bahkan mematikannya.

Semar, yang hamba dina ini, akan naik ke swargaloka untuk menghajar kembarannya, Batara Guru. Dengan mudah sang dewa penguasa itu dibekuk, minta ampun, dan akhirnya berjanji akan berbuat adil.

Para guru besar, pengusaha jujur, atau petani yang keras bekerja di terik matahari adalah Semar. Mereka cuma hamba-hamba pelayan masyarakat yang telah lama diperlakukan tak adil oleh para dewa kriminal.

Mata mereka tak rembes alias berair dan tak bisa kentut. Namun, mereka adalah kekuatan terpendam: bisa marah seperti Semar berkulit hitam  legam. Si hitam ini akan mampu membekuk Batara Guru yang kuning.

Yang kuning dijadikan hitam dan yang hitam menjadi kuning. Hukum terbalik itu sudah kodrati, tak bisa dihindari seperti hukum kematian manusia. Begitu juga kriminal tak selamanya pahlawan.

Negeri ini tinggal tunggu waktu kapan jam 12 malam akan tiba, saat Semar dan anak-anaknya muncul di layar wayang. Itulah saat Semar menggugat kekuasaan yang sungsang terbalik ini.

Jakob Sumardjo, Sabtu, 22 Januari 2011 | 04:45 WIB
Reposting by Kang Wirya.
Sumber http://cetak.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar